"Karena ini merupakan kejahatan kemanusiaan dan tindak kriminal, Menkes harus mencabut izin operasional. Yang jadi pertanyaan saya, apa iya tidak Ada RS besar yang juga menggunakan vaksin palsu ini?" kata Ade kepada detikcom, Kamis (14/7/2016).
Kasus vaksin palsu ini sudah terjadi sejak 13 tahun lalu atau pada tahun 2003. Ade Irma kemudian menggarisbawahi bahwa kasus ini terjadi dalam 3 periode pemerintahan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ade Irma menjelaskan bahwa Permenkes nomor 35 untuk Apotik, Permenkes 58 untuk Rumah Sakit, dan Permenkes 30 untuk Puskesmas itu terkait dengan kefarmasian. Sehingga pengadaan, penyimpanan, penyerahan, hingga penyediaan farmasi seluruhnya diawasi BPOM.
"Saat ini yang menjadi tanggung jawab BPOM hanya kefarmasian pada distributor saja," pungkas Ade.
Ke-14 rumah sakit yang disebutkan Menkes dalam rapat bersama Komisi IX adalah RS DR Sander (Bekasi), RS Bhakti Husada (Bekasi), RS Sentra Medika (Gombong), RSIA Puspa Husada, RS Karya Medika (Bekasi), RS Kartika Husada (Bekasi), RS Sayang Bunda (Bekasi), RS Multazam (Bekasi), RS Permata (Bekasi), RSIA Gizar (Bekasi), RS Hosana, RS Elizabeth (Bekasi), RS Harapan Bunda (Jakarta Timur), dan RS Hosana (Bekasi).
Kemudian delapan fasyankes itu adalah Bidan Lia (Cikarang, Bekasi), Bidan Lilik (Tambun, Bekasi), Bidan Klinik Tabina (Cikarang, Bekasi), Bidan Iis (Bekasi), Klinik Dafa DR, Baginda (Cikarang, Bekasi), Bidan Mega (Cikarang), Bidan M Elly Novita, (Ciracas, Jaktim), Klinik dr Ade Kurniawan (Slipi, Jakbar).
Namun pemaparan Menkes ini langsung disanggah anggota Komisi IX Saleh Daulay lantaran sebarannya tak di 9 provinsi seperti yang disebutkan sebelumnya.
(bag/tor)











































