Konsep yang ditawarkan oleh Megawati dan Jokowi mirip dengan Garis-garis Besar Haluan Negara yang pernah ada di masa pemerintahan Orde Baru. Bila Jokowi dan Mega ingin menghidupkan kembali GBHN, haruskan Undang-undang Dasar 1945 kembali diamandemen?
Baca juga: Saat Jokowi dan Mega 'Berbalas Pantun' Soal Rencana Menghidupkan Kembali GBHN
Saat menawarkan Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana, Megawati meminta peserta Rakernas PDI Perjuangan untuk mengkajinya lebih dalam. "Apakah melalui pengembalian fungsi dan wewenang MPR RI untuk mengeluarkan Ketetapan MPR terkait pola pembangunan, yang mengikat semua pihak dan wajib dijalankan oleh pemerintahan di semua tingkatan? Atau, kita merintis penguatan Undang-undang tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, menjadi undang-undang tentang Pembangunan Semesta," kata Megawati saat menyampaikan pidato politiknya di acara Rakernas PDI Perjuangan, Minggu (10/1/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Opsi kedua adalah memberikan kewenangan terbatas pada MPR untuk mengawasi pelaksanaan GBHN. MPR dapat menilai kinerja pemerintah dalam menjalankan GBHN. "Pada opsi kedua tersebut tetap dilakukan amandemen tapi hanya pada pemberian kewenangan khusus MPR terkait dengan pembuatan GBHN dan pengawasannya," kata Muradi saat berbincang dengan detikcom, Selasa (12/1/2016).
Alternatif ketiga adalah menjalin kompromi dan kontrak politik dengan elite partai di parlemen. Namun opsi ketiga ini mudah bubar di tengah jalan karena dinamika kepentingan yang saling bertubrukan.
"Saya cenderung memilih opsi kedua di mana ada pemberian kewenangan khusus pada MPR merumuskan GBHN dan pengawasannya meski harus melakukan amandemen atas konstitusi," kata Muradi.
Dia mengingatkan bahwa amandemen UUD 1945 tidak serta merta mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. (erd/nrl)











































