Tyler menyandang sindrom asperger, salah satu bentuk autisme. Semasa hidup, dia terus-menerus diganggu oleh para siswa di sekolahnya. Orangtua Tyler merasa pihak sekolah mengabaikan tangisan permintaan tolong mereka.
"Tyler bukanlah pelajar yang atletis. Ketika dia di kelas PE (pelajaran olahraga), dia selalu menjadi yang terakhir dipilih. Tidak ada seorang pun yang mau satu tim dengannya karena mereka bilang dia seorang geek dan homo, dan mereka tidak mau main dengannya," ujar ayah Tyler, David Long.
David mendengar suatu hari kepala anaknya itu didorong ke loker. Lalu siswa yang lain meneriakinya agar dia gantung diri, bahwa dia tidak berharga. "Dan saya rasa dia sudah pada titik di mana ini semua sudah cukup," kata David.
"Bila di sana ada surga, saya tahu Tyler ada di sana dan semua yang dapat saya lakukan adalah memiliki keyakinan bahwa saya akan berjumpa dengannya. Itulah yang membuat saya harus hidup dan saya harus hidup untuk dua anak saya lainnya. Saya harus membuat hidup mereka menyenangkan, senyaman dan sedamai yang saya mampu," ungkap David yang seringkali terpaksa meninggalkan pekerjaannya untuk mengatasi situasi yang terus meningkat terkait bullying yang menimpa anaknya itu.
Kini bersama istrinya, David menjadi motor gerakan nasional 'stop bullying'.