"Saya kira karena belum ketemu yang asli, ini masih sulit," ujar sejarahwan Asvi Warman Adam saat dihubungi detikcom, Minggu(30/11/2008).
Asvi menambahkan, bahwa naskah yang tersebar di internet ditemukan banyak kejanggalan. Kejanggalan yang paling jelas bisa dilihat dari penggunaan dua lambang untuk satu surat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Seyogyanya hanya satu lambangnya saja, yaitu lambang padi kapas. Kalau Garuda Pancasila itu biasanya buat departemen," tambahnya.
Kejanggalan lainnya terdapat dalam penggunaan ejaan. Dalam naskah Supersemar versi online tertera penulisan ejaan baru seperti 'u' untuk 'oe' seperti nama Presiden Soekarno ditulis 'Sukarno'.
Penggunaan ejaan baru pada naskah tersebut dinilai janggal oleh Asvi. Menurutnya, pada tahun 1966 Indonesia belum menggunakan ejaan baru.
"Kita baru menggunakan ejaan baru tahun 1972, sedangkan di dalam naskah tersebut tertulis tahun 1966," jelas peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini.
Selain itu, pada waktu itu naskah biasanya diperbanyak dengan stensil. Karena, belum ada mesin fotokopi pada tahun 1966.
(ape/nwk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini