Seniman ludruk--kesenian rakyat Jawa Timur berupa tarian dan nyanyian, yang akrab disapa Djliteng ini mengatakan, sejak tahun 1992 silam, pasien gangguan jiwa silih berganti datang ke rumah sederhana yang dia beri nama Padepokan Among Budaya Sastro Loyo itu. Saat ini saja, terdapat 21 orang pasien yang tinggal di pedepokan yang beralamat di Dusun Kedaton, Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan, Mojokerto.
Tak sedikit biaya yang harus dia keluarkan untuk merawat para orang gila itu. Rata-rata dalam sehari, anak ke 4 dari 6 bersaudara pasangan almarhum Marsubudi dan RA Endang Seleseh itu harus mengeluarkan uang Rp 550.000. Itu hanya untuk menutup kebutuhan makan dan minum puluhan pasien serta 16 murid yang membantunya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengeluaran yang mencapai Rp 16,5 juta sebulan itu belum termasuk kebutuhan transportasi untuk antar-jemput pasien, tagihan listrik, dan keperluan lainnya. Tentunya angka itu terbilang fantastis bagi orang seperti Djliteng yang hanya seniman ludruk biasa.
![]() |
Terlebih lagi, bapak 6 anak ini berprinsip pantang meminta sumbangan ke pihak manapun, termasuk dari pemerintah. Selama 23 tahun merawat orang gila, dia enggan mengajukan proposal permintaan sumbangan. Selain itu, Djliteng juga tak memasang tarif kepada orang tua pasien yang menitipkan anaknya.
"Kesalahan bukan di pemerintah, tapi karena saya tidak mau membuat proposal. Mengapa? Karena saya membimbing generasi bangsa ini supaya mereka bisa mandiri. Kalau saya membuat proposal artinya saya meminta. Kalau saya minta-minta, maka akan ditiru anak-anak disini," ungkapnya.
Kebutuhan biaya sebesar itu, lanjut Djliteng, dia tutupi dengan pementasan grup kesenian ludruk dan campursari yang dia kelola. Sebagian honor dari pementasan itu dia alokasikan untuk kebutuhan pasien, sebagian lagi untuk membayar para kru grup kesenian ludruk dan untuk kebutuhan pribadinya.
"Dari tanggapan ludruk, campursari, kadang gamelan sini disewa orang. Kalau dari keluarga pasien biasa kasih seikhlasnya, kami tidak mematok biaya. Malah paling banyak keluarga pasien endak pernah datang ke sini," ujarnya.
Namun, permintaan pementasan yang tak menentu, tak jarang membuat Djliteng kelimpungan. "Saya pernah 3 BPKB motor saya gadaikan gara-gara telat biaya. Prinsip saya, selama dunia belum kiamat, jangan takut endak bisa makan," cetusnya.
Apa yang dilakukan Djliteng selama 23 tahun lebih tepat disebut sebagai pengabdian. Jangankan mendapatkan penghasilan, pria bertubuh mungil ini justru merelakan harta, tenaga, dan pikirannya untuk menyembuhkan para penderita gangguan jiwa.
"Untuk membangun bangsa, saya melalui orang-orang yang mengalami gangguan jiwa ini saya benahi. Bagaimana anak bangsa punya pikiran yang cerdas agar mereka bisa kembali ke masyarakat, diterima dengan baik, dan bisa berkarya," tegasnya. (ugik/try)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini