"Jadi dari dulu sampai sekarang hanya berjumlah 7 (kepala keluarga)," kata Kepala Desa Temon, Kecamatan Arjosari, Selasa (12/10/2021).
Masih menurut Jamiatin, secara turun temurun jumlah keluarga yang menghuni kampung yang bernama asli Ngendak tak pernah lebih dari 7 KK. Sebutan Kampung Pitu pun berasal dari kosakata dalam Bahasa Jawa 'Pitu' yang berarti tujuh.
Misteri tentang penghuni kampung yang tak pernah bertambah maupun berkurang itu seolah menjadi tirai yang tak kunjung tersibak. Pun begitu tak banyak sumber yang dapat bercerita. Namun kisahnya tak tergeser oleh laju peradaban yang lambat laut menembus isolasi wilayah.
Ternyata, jumlah keluarga bukan hanya satu-satunya mitos yang menyelimuti Kampung Pitu. Sebutan 'Ngendak' sendiri dalam terminologi masyarakat setempat berarti pergeseran dari atas ke bawah. Hal itu kerap dimaknai jika seseorang pejabat datang ke Kampung Pitu, maka kelak pangkatnya akan turun.
Baca juga: Kisah 'Istimewa' Kampung Pitu Pacitan yang Hanya Dihuni 7 Keluarga |
Tentu saja tak semua orang mempercayai mitos tersebut. Hanya saja sebagian masih menganggapnya sebagai momok. Tak ayal, selama ini perkampungan yang berbatasan dengan sungai dan hutan itu relatif sepi dari kunjungan. Kecuali mereka yang bermaksud melakukan kegiatan spiritual pada hari-hari tertentu.
"Istilah Ngendak itu dulu dari kata-kata mudhun (turun). Kalau jabatannya tinggi bisa dilorot (diturunkan). Seperti itu," kata kepala desa dua periode itu menirukan pesan sesepuh yang memberinya petuah.
Di perkampungan itu juga terdapat sejumlah tempat sakral. Antara lain pendedehan (tempat berjemur) serta sendang (mata air). Di lokasi kedua ini terdapat jejak yang diyakini peninggalan wali. Bukti sejarah lain yang tersisa adalah masjid tua. Tempat ibadah ini sudah direnovasi tanpa mengubah unsur autentiknya.
Pemerintah desa berharap, mitos yang ada tak menjadi alasan berkurangnya perhatian terhadap warga yang tinggal di Kampung Pitu. Justru sebaliknya, ikon yang ada semestinya menjadi daya tarik untuk datang ke perkampungan ujung selatan Desa Temon.
"Mudah-mudahan mitos hanya mitos. Semua diserahkan kepada yang Maha Mencipta, saya yakin semua itu dapat dibuka jangan sampai mitos itu menjadikan kampung ini tidak mendapat perhatian," harap Jamiatin. (fat/fat)