INTERMESO

Dia yang Pilih Binasa daripada Menghamba

Chairil Anwar sering ditangkap dan dipenjarakan. 

Dialah api, dialah laut bagi revolusi kemerdekaan republik ini.

Ilustrasi: Luthfy Syahban

Senin, 15 Agustus 2016

Muka Chairil Anwar sudah membiru habis dihajar prajurit Jepang. Badannya yang kerempeng itu sampai terlempar membentur jeruji ketika ditendang sang opsir.

Chairil kemudian berusaha kembali tegak dan maju menghardik prajurit itu. “Biar peluru menerjang kulitku sekalipun, aku akan tetap menerjang.”

Ketika diinterogasi jaksa, Chairil, yang dituduh mencuri cat minyak seorang opsir Jepang, balik menyalahkan Jepang karena sudah banyak merampok tanah air kita. Saat itu tahun 1943, Indonesia dijajah Jepang. “Tolong bilang kepada iblis itu, dia boleh menembakku beratus kali, aku tidak akan mati.”

“Dan selama aku tidak mati, aku masih akan terus merampoki apa saja yang dia miliki. Sampai kepada istrinya pun aku akan rampok,” kata Chairil seperti digambarkan dalam buku Aku karya Sjumandjaja.

Malam hari ketika Chairil ditangkap itu, ia semestinya menyampaikan pidato kesenian di muka Angkatan Baru. Angkatan Baru adalah nama bagi sekelompok sastrawan muda yang tergabung dalam Pusat Kebudayaan yang tidak rela diperalat oleh Jepang.

Sutan Sjahrir, Bung Karno, dan Bung Hatta
Foto: dok. Arsip Nasional

Pusat Kebudayaan memang didirikan Jepang dan dimanfaatkan untuk melatih para seniman, pelukis, sastrawan, penyanyi, pencipta lagu, dan perupa yang mengabdikan seni untuk kepentingan Jepang. Mereka diarahkan untuk kepentingan semboyan “Kemakmuran Bersama”, “Asia untuk Bangsa Asia”.

Angkatan Baru setiap bulan mengadakan diskusi, ceramah, dan kegiatan lain. Di sinilah mulai dikenal nama Chairil Anwar karena ia sangat berani mengeluarkan pendapat. Ia tidak mau berpura-pura menjadi corong propaganda Jepang. Dalam setiap diskusi itu, Chairil sering menyindir dan mengejek seniman yang mau membantu Jepang.

Ketika malam ia ditangkap, dalam pidatonya yang dibacakan di depan Angkatan Baru, Chairil kembali menyeru para seniman untuk hidup bebas. “Seniman adalah tanda dari hidup yang melepas-lepas. Bagi seniman yang berpendirian seperti itu, slogan dan wahyu-wahyu yang timbul dari instruksi atasan tidaklah berlaku.”

Chairil dibawa ke kantor polisi untuk diperiksa, apakah bacaannya tersebut tidak membahayakan Pangkalan Brandan, kampung halamannya."

Saleha, ibunda Chairil Anwar

Kawan-kawan Chairil mengira si penyair bermata merah itu ditangkap karena puisinya berjudul Aku, yang penuh energi pemberontakan. Pada masa penjajahan, puisi ini jelas mengandung bara api; ia seperti menyeru semua orang yang saat itu dijajah untuk menantang maut dan mengesampingkan kematian. Karena puisi itulah Chairil dikenal dengan sebutan si Binatang Jalang.

Puisi Diponegoro, yang dibuat tidak lama dari puisi Aku, juga menjadi puisi yang berbahaya bagi penjajah. "Sekali berarti, sudah itu mati!" teriak Chairil dalam puisi itu, sambil menyerukan maju, dan mengingatkan bahwa lebih baik binasa daripada menghamba. Punah di atas menghamba, binasa di atas ditindas

Poster pembakar semangat untuk melawan penjajah.
Foto: Wikipedia

Namun Sudjojono menjelaskan, Chairil ditangkap karena mencuri cat si opsir Jepang. Chairil ingin Sudjojono segera melukis dirinya. Chairil dijatuhi denda dan, karena tidak punya uang, denda dibayarkan sang jaksa yang kasihan terhadapnya hingga ia pun dibebaskan.

Sebenarnya penangkapan Chairil itu bukan kejadian yang pertama. Si penyair yang selalu ingin bebas dari segala itu sebelumnya ditangkap gara-gara membacakan buku Layar Terkembang karya Sutan Alisjahbana untuk ibunya, Saleha.

“Chairil dibawa ke kantor polisi untuk diperiksa, apakah bacaannya tersebut tidak membahayakan Pangkalan Brandan, kampung halamannya,” kata Saleha saat diwawancarai H.B. Jassin seperti dikutip dalam buku Chairil Anwar, Hasil Karya dan Pengabdiannya, yang ditulis Sri Sutjiatiningsih.

Chairil memang sangat mencintai ibunya. Namun ia membenci ayahnya, Tulus, yang menjabat bupati di Rengat, Riau, gara-gara sang ayah menikah lagi. Ketika terjadi agresi militer Belanda II, Tulus ditembak mati oleh Belanda pada 5 Januari 1949.

* * *

Studio Sudjojono riuh sekali. Semua pelukis malam itu berkumpul, mulai Surono, Affandi, Sudjojono sendiri, hingga Basuki. Mereka begitu sibuk melukis poster-poster berisi slogan-slogan perjuangan.

Tahun 1945 itu, Indonesia baru merdeka. Namun Belanda, lewat Sekutu, kembali datang untuk menjajah. Sukarno sebagai presiden memerintahkan dibuat poster untuk menarik warga supaya bergabung dalam perjuangan melawan agresi militer Belanda.

Puisi-puisi kaya Chairil Anwar
Foto: Luthfy Syahban/detikX

“Merdeka atau Mati”, demikian bunyi poster yang akan dipasang di gerbong-gerbong kereta. Kata-kata itu diambil dari penutup pidato Bung Karno, Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945.

Selain poster “Merdeka atau Mati”, Sukarno menyuruh pelukis Affandi membuat poster gambar orang yang dirantai, tapi rantainya sudah putus. Idenya dari Bung Karno sendiri, sedangkan modelnya adalah pelukis Dullah.

“Kau jangan cuma nonton, Ril. Coba bikinkan kata-kata yang hebat. Ini Presiden sendiri yang pesan tadi malam,” kata Sudjojono seperti tertulis dalam buku Aku.

Sudjojono
Foto: ssudjojonocenter.com

“Begini mestinya kata-katanya,” kata Chairil sambil menulis “Boeng, Ajo, Boeng” pada poster itu.

Semua seniman itu setuju dengan tulisan Chairil. Mereka tidak tahu “Boeng, Ajo, Boeng” merupakan ucapan para pelacur di Senen, Jakarta, yang jadi langganan Chairil.

Pada masa revolusi kemerdekaan itu, ponakan Perdana Menteri Sutan Sjahrir tersebut, seperti pada umumnya pemuda masa itu, juga ikut aktif ke peperangan. Chairil berangkat ke Surabaya, yang dibom oleh Sekutu.

Chairil memang seperti yang dilukiskannya dalam puisinya Persetujuan dengan Bung Karno, selalu berada rapat dengan sang proklamator.

Dari tanggal 17 Agustus 1945, aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu/Aku sekarang api/Aku sekarang laut.

Ketika ia kembali ke Jakarta, ternyata Ibu Kota sudah dikepung Nica (Belanda). Laskar pemuda pun membuat garis pertahanan baru di Karawang. Chairil ikut ke Karawang. Ia bergabung dengan markas Kolonel Sadikin. Di Karawang inilah Chairil bertemu dan kemudian menikah dengan Hapsah Wiraredja. Namun Karawang tidak lepas dari hajaran bom. Chairil mendapat kabar, Belanda telah menerobos pertahanan Bekasi.

Ketika Chairil mendatangi pertahanan Bekasi, ia menyaksikan pemandangan yang membuatnya sangat berduka dan marah. Anak-anak muda bergelimang darah, tak bernyawa. Ada beribu pengungsi, baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak. Chairil juga melihat teman-temannya sesama seniman memanggul senjata di front ini.

Sutan Sjahrir menghadiri pemakaman Chairil Anwar
Foto: Repro buku Negarawan Humanis, Demokrat Sejati Yang Mendahului Zamannya

Dari mondar-mandiri Karawang-Bekasi ini, Chairil kemudian membuat puisi saduran Karawang Bekasi. Di puisi itu, Chairil menyeru agar terus menjaga Bung Karno, menjaga Bung Hatta dan menjaga Bung Sjahrir.

Chairil meninggal di usia 26 tahun 9 bulan pada 29 April 1949 akibat sakit paru-paru. Meski sang penyair sering mengejek moral dan nilai agama, pada saat-saat akhirnya, ia sering menggumamkan “Tuhanku, Tuhanku”.

“Chairil meninggal dengan berani dan tidak lupa kepada Tuhan. Dalam masa akhirnya, ia mengigau karena panas badannya yang tinggi. Pada saat ia insyaf, dia selalu mengucap ‘Tuhanku, Tuhanku’,” kata H.B. Jassin seperti ditulis di buku Mengenal Chairil Anwar karya Pamusuk Eneste.

Upacara pemakaman Chairil di Karet Bivak, Jakarta, mendapat perhatian besar dari masyarakat Ibu Kota. Dalam upacara itu, Sutan Sjahrir berpidato, “Dengan gaya hidupnya yang serba-aneh itu, Chairil adalah pejuang revolusioner Indonesia.”


Penulis/Editor: Iin Yumiyanti
Desainer: Luthfy Syahban

Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.