INTERMESO
Untuk menguasai Nusantara, Belanda merekrut pasukan dari berbagai negara. Gaji besar, perempuan cantik, dan rokok kretek kaya rempah menjadi iming-imingnya.
Prajurit KNIL sedang berparade
Foto: repro buku Pribumi Jadi Letnan KNIL
Akhir musim semi 1876, kapal uap Prins van Oranje bergerak perlahan meninggalkan Pelabuhan Den Helder di wilayah utara Belanda. Kapal itu mengangkut ratusan serdadu bayaran dari berbagai negara untuk pemerintah Belanda. Berlayar melintasi Terusan Suez dan Laut Merah, kapal bercerobong dua tersebut menuju Batavia.
Satu di antara prajurit itu adalah Jean Nicolas Arthur Rimbaud, penyair muda berbakat di Prancis. Ia lahir di Charleville-Mézières, Prancis, 20 Oktober 1854. Dia anak kedua pasangan Kapten Frédéric dan Vitalie Cuif.
Frédéric pernah bertugas di angkatan bersenjata Prancis saat berperang di Aljazair. Rimbaud tumbuh menjadi anak yang cerdas tanpa bimbingan sang ayah. Menjadi bintang di kelasnya, Rimbaud pada usia 15 tahun menjuarai kontes akademik lewat puisi Ver Erat, The Angel and the Child. Gurunya memuji remaja bermata biru dengan tinggi badan 180 sentimeter itu sebagai “jenius”. Kumpulan puisi yang pertama kali diterbitkannya adalah The Orphans’ New Year’s Gifts.
Sayang, si jenius kemudian terjerumus menjadi pecandu alkohol. Ia juga menjalin hubungan sesama jenis dengan penyair Paul Verlaine di Paris. Setelah putus hubungan dengan Verlaine, kehidupannya semakin terpuruk. Ketika Markas Besar Militer Kerajaan Belanda kekurangan prajurit untuk menuntaskan perang di Aceh, Rimbaud memutuskan mendaftar sebagai serdadu bayaran Koninklijkk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL) pada 1876. Ia mendapatkan uang kontrak 300 gulden.
"Jumlah itu setara dengan gaji setahun buruh," kata Jean Rocher dalam acara bedah buku KNIL, Perang Kolonial di Nusantara dalam Catatan Prancis, di Jakarta pada 2 Juni 2016. Buku itu ia tulis bersama wartawan Kompas, Iwan Santosa. Sebelumnya, duet Jean-Iwan menerbitkan Sejarah Kecil Indonesia-Prancis 1800-2000 pada 2014.
Selain memberikan nilai kontrak yang fantastis, menurut Jean, Belanda mengiming-imingi para calon serdadu dengan surga tropis di Pulau Jawa. Tentu saja lengkap dengan para perempuan cantik, arak, dan rokok kretek beraroma rempah.
Perekrutan serdadu Eropa sebenarnya berlangsung sejak zaman kekuasaan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) atas kepulauan Nusantara."
Rimbaud dan serdadu lainnya tiba di Batavia pada 22 Juli 1876. Dia mendapat penugasan di Salatiga, Jawa Tengah, bersama lima orang warga Prancis lainnya. Nyali Rimbaud ciut ketika mengetahui batalion tempatnya bertugas merupakan batalion tempur yang berisi veteran Perang Aceh. Dari mereka, ia mendengar berbagai kisah kejam Perang Aceh sehingga hanya sedikit prajurit yang bisa pulang dengan selamat.
Akhirnya, 12 hari setelah tiba di Jawa, Rimbaud memilih desersi dengan berpura-pura meminta izin untuk ibadah. Dia lari ke Pelabuhan Semarang menggunakan dokar hingga bertemu dengan pelaut Inggris dan minta agar diizinkan ikut berlayar kembali ke Eropa. Rimbaud tiba di Prancis pada 9 Desember 1876. "Banyak serdadu Eropa yang kecewa sesampai di Jawa, tapi sedikit yang mengalami desersi seperti Rimbaud," kata Jean, mantan Atase Militer di Kedutaan Besar Prancis di Jakarta. Kekecewaan tersebut terjadi karena nilai gaji tidak sebesar yang dijanjikan.
* * *
Rusdhy Hoesein, Jean Rocher, dan Iwan Santosa saat bedah buku KNIL di Gramedia Grand Indonesia, 2 Juni 2016.
Foto: Pasti Liberti Mappapa/detikX
Perekrutan serdadu Eropa sebenarnya berlangsung sejak zaman kekuasaan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) atas kepulauan Nusantara. Catatan Charles Francois Tombe, kapten zeni asal Prancis, memperlihatkan pada 1622 ada 143 prajurit Eropa di Batavia yang berasal dari Jerman, Belanda, Swiss, dan Inggris. Kala itu juga ada Jenderal Prancis Isaac de St. Martin, yang memimpin pasukan bayaran VOC. Jumlah tersebut bertambah sampai sepanjang abad ke-17 dan kekuatan militer VOC mencapai 1.500 prajurit gabungan Eropa dan Bumiputera. Mereka dipakai untuk menghadapi perlawanan lokal di seantero Nusantara.
Pemerintah Belanda menghentikan rekrutmen serdadu bayaran asal Eropa untuk KNIL pada 1914 atau beberapa tahun setelah berakhirnya Perang Aceh karena alasan keuangan. Namun tetap membuka pendaftaran bagi serdadu dari seluruh kepulauan Nusantara.
Kisah lain orang Prancis di KNIL diketahui dari catatan J.J. Roy, letnan dua kesatuan infanteri kawal Raja Prancis. Ia bergabung dengan KNIL ketika pasukan pengawal raja dibubarkan seiring dengan lengsernya Raja Charles X pada akhir Juli 1830. Bersama ayahnya, yang juga perwira tentara kerajaan, ia berangkat ke Belgia, lalu masuk ke Belanda. Berbekal memo kawan ayahnya yang juga petinggi militer di Belanda, Roy mendaftar sebagai staf militer Pangeran Oranye Nasau. Setelah kematian ayahnya pada 1833, dia bertugas sebagai kapten angkatan perang kolonial Belanda di Hindia Timur.
Poster perekrutan KNIL
Foto: repro buku KNIL
Jean Nicolas Arthur Rimbaud
Foto: Wikipedia
Prajurit resimennya sebagian besar pasukan bayaran dari berbagai negara, yang mencapai 1.200 orang. Tugas utamanya adalah mempertahankan Pulau Jawa. Resimen ini berlabuh di Pelabuhan Sunda Kelapa, Batavia. Setelah dua tahun bertugas, mereka dilibatkan dalam operasi militer di Belitung untuk menumpas bajak laut yang mengganggu pelayaran Singapura dan Batavia.
Di akhir operasi, Gubernur Jenderal Hindia Belanda menugasinya ke Palembang menjadi residen sipil ad interim Belanda. "Setelah kedatangan residen tetap pada 1839, baru saya bebas jalan-jalan sampai ke Bengkulu dan Padang," tulis Roy seperti dikutip dari buku Orang Indonesia dan Orang Prancis karya Bernard Dorleans.
Begitu kembali ke Batavia, Roy disambut hangat Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Dia diberi tanda jasa “Orde van de Nederlandse Leeuw”, tanda kehormatan tertinggi, yang jarang diberikan kepada orang asing. Roy pun dipromosikan menjadi inspektur militer untuk seluruh garnisun Belanda di Hindia Timur di luar Pulau Jawa dengan pangkat letnan kolonel.
"Tugas saya menilai kemampuan operasional dan kesiapan tempur pasukan, hubungan dengan penguasa dan residen pribumi, serta melaporkannya langsung ke Gubernur Jenderal," tulis Roy. Satu kapal uap disiapkan untuk menunjang tugasnya berkeliling Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Timor, Sumbawa, Lombok, dan Bali.
Saat perjalanannya mendekati Bali pada 1844, meletus perselisihan Belanda dengan Raja Buleleng dan Karangasem. Dalam peperangan di Bali, Roy sempat terluka dan harus menjalani perawatan selama enam bulan. Begitu sembuh, ia memilih kembali ke Prancis dan menjauhi urusan politik.
"Saya hanya sibuk mempersiapkan diri dengan kelakuan yang pantas untuk melaksanakan perjalanan agung yang mengakhiri ziarah setiap manusia di muka bumi."
Reporter/Penulis: Pasti Liberti Mappapa
Editor: Sudrajat
Desainer: Fuad Hasim
Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan
kekinian.