Ilustrasi: Edy Wahyono, Desy
Jumat, 22 Januari 2016
Raut wajah Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise tegang begitu mendengar pengakuan Maskur, 34 tahun, awal November 2015. Matanya menatap tajam ke arah tersangka kasus paedofil terhadap 15 anak itu. Para korban tak lain adalah anak-anak lelaki yang kerap bermain bersama di lingkungan tempatnya tinggal, Jalan Duren Bangka RT 01 RW 02, Kelurahan Duren Tiga, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan.
Bujangan yang sehari-hari bekerja sebagai kuli bangunan atau tukang
parkir liar di kawasan Duren Tiga itu mengaku melakukan aksi bejatnya
tersebut sejak 2012. Alasannya klise: terpengaruh film porno. "Saya
berbuatnya di sekitar kuburan," ujar lelaki yang biasa disapa Akur itu
di ruang pertemuan Polres Jakarta Selatan.
Yohana seperti tak bisa menahan geram. Ia menyatakan pemerintah telah bersepakat untuk memberikan hukuman tambahan kepada para pelaku paedofil, yakni kebiri. Hukuman ini juga diterapkan di Amerika, Australia, Argentina, Korea, dan Rusia. "Kamu orang pertama yang dikebiri, bagaimana?" ujarnya.
Ini nanti saya kumpulkan dan masukkan ke daftar yang akan dikebiri."
Akur, yang kedua tangannya diborgol ke belakang, terkesiap. Wajahnya seketika pucat pasi. Ia mengaku memang telah bertindak khilaf dan berbuat dosa. Tapi, bila hukuman yang dijatuhkan berupa kebiri, ia tegas menggeleng. Hukuman mati dia rasa lebih baik. "Enggak mau saya dikebiri. Tembak mati saja," ucapnya setengah mengiba.
Tapi Yohana tak menggubrisnya. Doktor ilmu linguistik dari Universitas Newcastle itu berlalu meninggalkan ruang pertemuan diiringi Kepala Polres Komisaris Besar Wahyu Hadiningrat. Esok harinya, Yohana menegaskan akan mempertimbangkan untuk memasukkan nama Akur dalam daftar nama pelaku paedofilia yang akan dikebiri. "Ini nanti saya kumpulkan dan masukkan ke daftar yang akan dikebiri," kata dia di kantornya.
Usul hukuman kebiri bagi predator anak muncul lantaran kasus-kasus paedofilia terus terjadi. Beberapa pekan sebelum Akur ditangkap, polisi menahan Sanwani alias Iwan, 46 tahun, dan Agus Dermawan, 39 tahun. Puluhan anak diduga menjadi korban paedofil Iwan, warga Kelapa Gading, Jakarta Utara. Kasus ini terungkap awal September. Sedangkan awal Oktober, publik digemparkan oleh kasus kekerasan seksual dan pembunuhan PNF, gadis berusia 9 tahun. Jasad bocah malang itu dibuang dalam kardus oleh pelaku bernama Agus Dermawan, warga Kalideres, Jakarta Barat.
Lebih dari sebulan mendekam di ruang tahanan polisi membuat kulit Akur terlihat lebih bersih. Cuma, wajahnya terlihat sedikit memar. Juga ada bekas luka di keningnya. Ia tersenyum girang begitu melihat Iwan, kakak iparnya, datang membesuk pada Selasa, 1 Desember 2015. Setelah memeluk dan menyalami sang kakak, ia membuka dua bungkusan keresek putih yang disodorkan kepadanya. Isinya antara lain nasi putih, ayam goreng, sebungkus teh manis, dan susu. Keresek satunya lagi berisi singkong rebus campur gula jawa buatan sang kakak, Su'deh. Sambil berbasa-basi menanyakan kabar keluarga, Akur mengambil susu dalam kantong plastik. Ia menggigit ujungnya dan perlahan mengenyot susu tersebut.
"Ah, biasa saja. Bukan karena kenapa-kenapa," kata Akur saat detikX, yang ikut membesuk, menanyakan soal memar wajahnya. Lelaki yang sejak mendekam di ruang tahanan kepalanya dibuat plontos itu terlihat tidak nyaman membincangkan kekerasan yang mungkin dialaminya selama di sel tahanan. "Ngomongin yang lain saja, Mbak," ujar Akur.
Saat ditanya seputar kedekatannya dengan anak-anak, Akur tersenyum kecut. Ia mengaku memang kerap disambangi anak-anak di lingkungan tempatnya tinggal, terutama saat pulang dari memancing dan membawa ikan untuk dibakar bersama. Mereka juga biasa datang bermain sekadar untuk melihat-lihat beberapa burung di sangkarnya. "Enggak, saya enggak pernah menjahati mereka," Akur menegaskan.
Ia malah mengungkapkan, dari belasan anak yang kerap bermain bersamanya, pernah ada satu-dua orang yang tindakannya membuat Akur kaget. Misalnya ada anak yang mengenakan celana dalam anak perempuan tetangganya. Juga ada yang datang sambil membawa telepon seluler milik orang tua mereka. Di ponsel itu ternyata terdapat beberapa rekaman film porno. Ia pun sempat menonton film tersebut, dan melakukan onani di area pemakaman di sekitar kampung. "Saya memang sempat menempelkan kemaluan ke pantat anak itu, tapi bukan sodomi. Saya cuma beronani," ujarnya. Ia seolah meralat ucapannya saat di hadapan Menteri Yohana awal November 2015.
Berkaitan dengan wacana penerapan hukuman kebiri sebagai hukuman tambahan, psikolog forensik dari Universitas Bina Nusantara, Jakarta, Reza Indragiri Amriel, ragu hal itu akan menimbulkan efek jera. Ia juga tak yakin kebiri mampu meredakan praktek paedofilia. Sebab, hukuman kebiri kimiawi hanya melemahkan atau mematikan syahwat seksual pelaku. Tapi perasaan negatif dan dendam masa lalu pelaku tidak akan serta-merta bisa padam. Malah si predator bisa semakin menjadi karena obsesinya pada dominasi dihalang-halangi.
"Karena merasa 'kalah', ia akan mengembangkan modus baru atau melibatkan pihak lain untuk memastikan dendamnya bisa diekspresikan dan hasrat dominasinya masih bisa dipenuhi," katanya.
Di sisi lain, tim penyidik ternyata masih mengesampingkan kemungkinan pengenaan hukuman kebiri terhadap Akur. Sebab, sejauh ini pemerintah belum membuat aturan pelaksanaan terkait kebiri. "Jadi (hukuman) masih mengacu pada UU Perlindungan Anak dan KUHP," kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Jakarta Selatan Ajun Komisaris Besar Audie Latuheru.
Ilustrasi: Edi Wahyono, Desy
Sambil celingukan dari atas kasur lapuk di pojokan
kamar, Masenah, 76 tahun, memanggil-manggil nama Maskur (Akur).
Bicaranya terbata-bata, suaranya lirih. Sudah lebih dari sebulan anak
keempatnya itu tak lagi membawakan nasi uduk kesukaannya, apalagi
menyuapi, memandikan, atau mencebokinya. "Di mana Akur. Ke mana anak
itu?" Perempuan renta dengan dua bola mata yang tak lagi jernih itu
terus memanggil.
Alih-alih menjawab, Su'deh, 40 tahun, anak keduanya, malah mengucurkan air mata. Ia tak kuasa menjelaskan keberadaan Akur yang sebenarnya. "Sabar, Nyak, Akur lagi pergi. Pasti dia pulang, Nyak," ujar Su'deh sambil menyeka air matanya. Ia mencoba menenangkan sang bunda yang sudah pikun. Penyakit itu menyergap Masenah sejak sang suami meninggal tiga tahun lalu.
Menurut Su'deh, polisi menjemput paksa Akur, 34 tahun, pada 20 Oktober 2015. Sang adik baru saja merampungkan makan malam sambil menyuapi ibunya. Sehari-hari, lajang yang cuma bersekolah hingga kelas III sekolah dasar itu bekerja serabutan. Terkadang menjadi kuli bangunan, kadang menjadi juru parkir di sebuah toko swalayan di kawasan Duren Tiga, Jakarta Selatan.
Beberapa hari sebelum ditangkap, Akur cekcok dengan salah seorang tetangganya. Si tetangga minta pertanggungjawaban Akur, yang dituding telah bertindak tak senonoh terhadap putranya. "Pokoknya lu harus tanggung jawab, Kur. Anak gue berdarah-darah," ujar Su'deh menirukan cerita sang adik. Yang dituding berkeras menolak. "Apa urusannya kok saya yang disuruh tanggung jawab," Akur menimpali, lalu ngeloyor pergi.
Akhirnya ketua RT dan ketua RW setempat pun turun tangan. Ternyata ada tiga orang tua yang menuding Akur telah mencabuli anak-anak mereka. Anehnya, bukan cuma Akur yang menampik tuduhan itu, ketiga anak yang dihadirkan pun menolak dianggap telah menjadi korban. "Cuma para orang tua itu yang terus mendesak anak-anak mereka supaya mengaku," kata Sakur, ketua RT, saat ditemui detikX, Selasa, 1 Desember 2015.
Untuk menenangkan situasi, mereka sepakat menggelar pertemuan lanjutan di lain hari. Tapi diam-diam ketiga orang tua itu malah melaporkan Akur ke polisi. Dari penyelidikan atas laporan tersebut, polisi menetapkan Akur sebagai pemburu seks terhadap anak-anak alias paedofil. Ada 15 anak lelaki yang menjadi korban Akur sejak 2012. Terakhir, lelaki berkepala plontos itu diduga beraksi pada 15 Oktober 2015 terhadap seorang anak, AE, 8 tahun.
Yang sudah terkonfirmasi 11 korban, 4 korban lainnya sedang diambil visum."
"Yang sudah terkonfirmasi 11 korban, 4 korban lainnya sedang diambil visum," ujar Kepala Kepolisian Resor Jakarta Selatan Komisaris Besar Wahyu Hadiningrat kepada pers.
Akur mencabuli korbannya di banyak tempat dengan iming-iming permen dan uang. Bukan hanya di area kuburan di lingkungan tempat tinggalnya, tapi juga di kolam, rumah, bahkan di sekolah korban. Polisi menduga ada kekerasan fisik yang dilakukan Maskur terhadap para korban. Polisi juga mendapati salah satu anak dipukuli oleh pelaku.
Hati Marsinah, 47 tahun, serasa diiris-iris begitu anaknya, sebut saja Rino, 8 tahun, mengeluh duburnya sakit setiap hendak dan usai buang hajat. "Sakit, Bu, ini gara-gara Akur," ujarnya menirukan kalimat anaknya kepada detikX, Rabu, 2 Desember 2015. Menurut pengakuan sang anak beberapa hari kemudian, Akur ternyata telah menyodominya. Tapi anak kelas II sekolah dasar itu takut melapor karena diancam akan dipukul dengan linggis oleh Akur.
Tak cuma itu, pemuda yang sebelumnya dianggap baik dan sopan itu rupanya pernah mengajak Rino menonton film dewasa lewat telepon seluler. "Hati saya pedih sekali, kenapa dia tega berbuat nista begitu," tutur Sinah sambil mengusap air matanya.
Alan sedikit beruntung. Teman sebaya Rino itu hanya sempat dipeluk-peluk dan diciumi Akur. Tindakan seperti itu, menurut Rina, 32 tahun, ibunda Alan, ternyata juga dilakukan terhadap belasan anak lainnya. "Itu pengakuan anak-anak sendiri kalau pernah dicium pelaku (Akur)," ujar Rina.
Polisi menjerat Akur dengan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang pencabulan terhadap anak. Ancamannya hukuman penjara maksimal 15 tahun dan denda Rp 5 miliar. Menurut Komisaris Besar Wahyu Hadiningrat, berkas kasus Akur sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada pertengahan November lalu. "Baru berkasnya, tersangkanya belum," ujar Wahyu saat dihubungi Rabu, 18 November 2015.
Berdasarkan kesaksian Sakur sebagai ketua RT dan beberapa tetangga yang ditemui detikX, Akur disebut sebagai orang baik, sopan, dan cenderung pendiam. Sejak Akur kecil, Sakur tak pernah melihat atau mendengar cerita buruk tentangnya. Bahkan, setiap kali Akur gajian, anak-anak di kampung itu biasa merajuk minta jajan. Akur pun tak kuasa menolak. "Orangnya enggak pernah marah, sopan, dan bares (tidak pelit)," katanya.
Sofian, 60 tahun, Indarsih (46), dan Yuli (24) punya kesaksian serupa. Tak aneh bila mereka sangat kaget saat Akur dituduh sebagai paedofil. Setahu Yuli, anak-anak di kampungnyalah yang banyak mendatangi kediaman Akur untuk bermain. Entah untuk melihat burung, entah sekadar mencicipi ikan bakar hasil tangkapan Akur. "Anak-anak itu yang ke sini, bukan Akur yang mendekati anak-anak," kata Yuli.
Di mata Indarsih, Akur adalah sebagai pemuda yang tak pernah menolak dimintai tolong tetangga kanan-kirinya. Sekadar menambal langit-langit yang bocor, mengganti genting yang pecah, atau membuang bangkai. "Yang laporin si Akur kan dua hari sebelumnya nyuruh dia buang bangkai tikus. Akur sih nurut aja, tuh," katanya.
Saat ditemui di ruang tahanan Markas Polres Jakarta Selatan, Selasa, 1 Desember 2015, Akur berkukuh dirinya bukan paedofil. "Itu fitnah yang sangat keji terhadap saya," ujarnya.
Kalaupun dia kerap bermain dan bercengkerama dengan anak-anak, ia melanjutkan, semua dilakukan dalam konteks hubungan kakak-adik. Tak lebih. Akur juga mengaku pernah mencium dua anak berusia 8 tahun. Tapi itu dilakukan dalam konteks bercanda dan disaksikan banyak tetangganya. "Saya masih punya rasa kemanusiaan. Tak mungkin saya melakukan sodomi," katanya dalam nada bergetar.
Pengajar kajian ilmu kepolisian Universitas Indonesia, Bambang Widodo Umar, menyebut seorang paedofil memang mengincar korban dari lingkungan di sekitar tempat tinggalnya. Beberapa di antara pelaku ini bergaul secara santun dan mudah akrab dengan orang lain. "Sikapnya selalu lemah lembut, tapi hatinya sadis," kata Bambang melalui sambungan telepon.
Paedofil juga biasa membangun hubungan kedekatan itu menjadi sangat intim, sehingga korban tak menyadari bakal jadi mangsa. Sebaliknya, dari sisi korban, kebanyakan enggan bercerita kepada orang tuanya lantaran malu dan takut. "Akhirnya pengawasan tidak ada dan kasusnya terbiarkan," ujar Bambang.
Reporter: Kustiah, Ahmad Masaul K.
Penulis: Rizal Maslan
Editor: Sudrajat
Rubrik Crime Story mengulas kasus-kasus kriminal yang menghebohkan, dikemas dalam bahasa bercerita atau bertutur, dilengkapi dengan gambar ilustrasi yang menarik.