Ilustrasi: Edi Wahyono

Kamis, 28 Januari 2016

Alih-alih gugup dan tertekan, Didin Wahyudin, 41 tahun, malah kerap melontarkan canda dan senyuman saat berhadapan dengan polisi yang menyidiknya. Ia pun seolah menerima perlakuan istimewa. Kecuali mengenakan seragam tahanan, kedua tangan dan kakinya bebas dari gelang borgol, yang biasa dikenakan pesakitan. Padahal pasal yang disangkakan kepadanya sangat serius: pembunuhan berencana.

Dengan nada bicara yang tenang, Didin secara kronologis menuturkan aksinya saat menghabisi nyawa kekasih gelapnya, Kuraesin alias Esin, 40 tahun, pada 1 Juni 2014. "Saya duda dengan dua anak,” kata lelaki berkacamata minus itu membuka percakapan dengan detikX, pertengahan Desember 2015.

Istri pertamanya, Titin Surartini, diceraikan setelah melahirkan anak kedua secara caesar. Teknisi instalasi listrik dan AC di gedung Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) di Kemayoran, Jakarta Pusat, itu berdalih sang istri mengalami gangguan jiwa.

Teteh memang enggak minta dinikahi atau lagi hamil. Saya panik saja."

Beberapa waktu kemudian, Didin berkenalan dengan Esin. Perempuan asal Lebak, Banten, itu sedang dalam proses cerai dengan suaminya, Husein, yang juga menjadi tenaga kontrak di BMKG. Hubungan kian intens ketika perempuan yang disapanya “Teteh” itu resmi menjanda pada awal 2014. “Ya, saya akui, dengan Teteh sudah terlampau jauh hubungannya," kata Didin.

Di sisi lain, lelaki kelahiran Ciamis, Jawa Barat, 17 April 1974, itu juga menjalin tali kasih dengan Yayah. Ketika rencana menikahi gadis yang masih belia itu disampaikan, Esin pun berang. Janda beranak dua itu mengancam akan menceritakan kisah kasihnya kepada teman-teman Didin. "Jelas saya panik, saya enggak mau batal nikah sama Yayah," ujar Didin.


Lelaki yang cuma lulusan sekolah dasar itu pun menyusun siasat. Pada 28 Mei 2014, ia mengajak Esin jalan-jalan. Keduanya bertemu di jembatan penyeberangan di dekat gedung Pelni, tak jauh dari kantor BMKG. Pantai Pangandaran, Ciamis, menjadi tujuan. Dengan mengendarai sepeda motor matik warna biru-putih milik Didin, keduanya melaju dengan rute Bogor, Cianjur, Cimahi, dan Bandung.

Karena lelah, keduanya rehat dan menginap di Hotel Kencana, Sumedang. Sebelumnya, pasangan itu sarapan di Rumah Makan Tanjung Rasa. “Saya check-in pukul 11 siang, Rabu tanggal 28 Mei 2014," ujar Didin.

Kami ikhlas. Biar polisi saja yang menghukum pelaku."

Selain bermesraan, keduanya mengisi waktu selama di dalam kamar dengan berbincang ringan. Ketika suasana dianggap cukup nyaman, Didin kembali mengutarakan niatnya menikahi Yayah. Meski begitu, ia menjamin akan tetap menjalin silaturahmi dengan Esin, tapi tak lebih sekadar hubungan teman biasa. Esin tidak terima diperlakukan tak adil. Dia sepertinya telanjur cinta mentok pada Didin. Esin tak mau dicampakkan begitu saja, bak pepatah habis manis sepah dibuang. Tutur kata dan nada bicaranya yang biasanya lembut seketika berubah drastis. Ia benar-benar murka. “Terus saya mau dikemanakan?” ujarnya berulang-ulang dalam nada tinggi.

Didin merasa terpojok. Ia galau. Tapi tetap berusaha mengendalikan diri. “Perempuan ini sepertinya tak mungkin bisa dikendalikan lagi. Dia bakal menjadi penghalang rencana pernikahanku dengan Yayah,” begitu bisik batin Didin.

Didin Wahyudin membekap wajah Esin hingga tewas.

Memasuki hari ketiga menginap, niat jahat Didin mencuat. Saat Esin masih terlelap Sabtu pagi itu, Didin menindih Esin sambil membekap wajahnya dengan bantal. Setelah tubuh kekasih gelapnya itu lemas dan tak lagi berkutik, Didin menurunkannya ke lantai. Membungkusnya dengan selimut, lalu mendorongnya ke kolong ranjang. 

“Teteh memang enggak minta dinikahi atau lagi hamil. Saya panik saja. Dia kembali ngancam mau bocorin ke teman-teman di tempat kerja soal hubungan saya dengannya," tutur Didin. 

Agar tak memantik kecurigaan pengelola hotel, saat kabur pada pukul 11.00 WIB, ia membayar uang sewa kamar hingga 1 Juni. Setelah itu, Didin memacu sepeda motornya menuju kediaman kedua orang tuanya di Ciamis. Lantas ia menuju Brebes, Jawa Tengah, untuk menengok anak dari istri pertamanya. “Dari Brebes, saya kembali ke Jakarta lewat Jalur Pantura,” ujarnya. 

Didin tak pernah mencoba hijrah ke luar Jakarta untuk bersembunyi. Juga tak pernah menyamar untuk mengelabui polisi. Meski rasa waswas setiap saat menyelinap di batinnya, ia berusaha bekerja seperti biasa. "Memang saya merasa bersalah dan berdosa. Kenapa selama ini enggak menyerahkan diri ke polisi, ya saya belum siap saja," ujar Didin. 

Pada 10 Agustus 2014, ia melangsungkan pernikahan dengan Yayah di Rawa Tengah, Jakarta Pusat. Pasangan pengantin baru itu lalu mengontrak rumah di kawasan Perumahan Angkasa Pura, Kemayoran. Ketika polisi mulai mengendus keberadaannya sebulan kemudian, Didin segera berhenti dari pekerjaan dan pindah ke Bekasi.

Ajun Komisaris Hadi Mulyana dan Didin Wahyudin.

Kepada polisi yang menyidiknya, Didin sempat membual. Ia mengatakan perempuan yang dia bunuh adalah seorang pekerja seks bernama Siti, yang biasa mangkal di Tegalega, Bandung. Perempuan itu dibunuh karena mengejeknya sebagai lelaki loyo dan lemah saat berhubungan intim. 

Karena di kamar kejadian perkara ditemukan obat kuat pria, polisi sempat mempercayai cerita Didin. Tapi, untuk memastikannya, Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Sumedang Ajun Komisaris Hadi Mulyana meminta anak buahnya pergi ke Tegalega. Ternyata tak seorang pun pekerja seks yang mengenal nama itu. Akhirnya Hadi turun langsung menginterogasi Didin.

"Saya sanjung dia sambil ngobrol santai. Secara perlahan, pelaku bicara blak-blakan,” kata Hadi kepada detikX di kantornya.

Meski kehilangan kontak selama satu setengah tahun, keluarga besar Esin sama sekali tak curiga ia telah tiada. Sebab, pada Juli 2014, Esin mengabarkan berhenti berdagang di Kemayoran karena mendapat pekerjaan lain di Cikarang, Bekasi. “Sekarang kami baru sadar, SMS itu sepertinya dari pelaku (Didin)," kata Uden, adik Esin. “Kami ikhlas. Biar polisi saja yang menghukum pelaku,” ia menambahkan.

Polisi, menurut Hadi, menjerat Didin dengan Pasal 338 dan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana. Ancaman hukumannya penjara 20 tahun atau maksimal hukuman mati. 


Ilustrasi: Edi Wahyono

Kamis, 28 Januari 2016

Bau tak sedap meruap dari kamar 202 Hotel Kencana, Sumedang, Jawa Barat, 1 Juni 2014. Tetamu yang menginap di kamar-kamar di sekitar itu mengeluhkannya kepada pengelola hotel. Apalagi lalat hijau turut mendengung-dengung merubung di sana.

Ria Setiawan, 38 tahun, petugas yang biasa membersihkan kamar, malah menduga bau busuk itu cuma berasal dari sisa makanan. Sekitar pukul 11 keesokan harinya, ketika bau busuk kian menusuk hidung, ia bersama Agung Nurdiansyah, sesama pegawai yang biasa membersihkan kamar, mendobrak pintu kamar tersebut.

Tempat tidur acak-acakan. Sisa makanan berupa ikan bakar dan sampah botol minuman berserakan. Keduanya kaget bukan kepalang ketika hendak merapikan seprai dan bantal. Dari kolong tempat tidur, terbujur sepasang kaki perempuan. Ria dan Agung sontak menghambur ke luar kamar dan melapor kepada pemilik hotel. Saat itu juga polisi dikontak.

Polisi juga menyita obat kuat khusus pria produk Cina. Bentuknya berupa obat oles dan kapsul."

“Itu mayat perempuan. Sudah kaku, terbungkus selimut. Tak ada ceceran darah di lantai dan kasur,” kata Ria mengenang peristiwa satu setengah tahun silam itu saat ditemui detikX, 18 Desember 2015.

Kamar bertarif Rp 230 ribu per malam itu disewa atas nama Yana Gunawan, yang pada kartu identitasnya tercatat sebagai warga Jalan Penghubung VIII RT 001 RW 007, Desa Jati, Pulogadung, Jakarta Timur. Yana menyewa kamar mulai 28 Mei hingga 1 Juni 2014. Tak lama setelah Yana melakukan check-in, datang seorang perempuan mengendarai sepeda motor matik warna biru-putih. Si perempuan masuk kamar dengan cara menyelinap lewat halaman samping hotel di Jalan Pangeran Kornel itu.



Pada 31 Mei, menurut Ria, Yana sempat meminta dibelikan ikan bakar. Pada 1 Juni, lelaki berkacamata minus itu membayar uang sewa tambahan buat satu malam. Tapi, selang beberapa waktu kemudian, dia pergi mengendarai sepeda motor matik itu dan tak pernah kembali. Sedangkan si perempuan ditemukan telah kaku menjadi mayat.

Sewaktu diperiksa polisi, diketahui ciri-ciri mayat itu antara lain mengenakan pakaian warna hitam bermotif kotak-kotak, celana panjang, serta memakai gelang emas di tangan kiri dan sandal warna keemasan. Usianya ditaksir 30-45 tahun, gigi atas nomor empat tak ada, dan ada tahi lalat di dada bagian tengah.

Sementara itu, dari tempat kejadian perkara, sekalian mengamankan sisa makanan dan minuman kemasan botol, polisi juga menyita obat kuat khusus pria produk Cina. Bentuknya berupa obat oles dan kapsul.

Butuh waktu hingga satu setengah tahun bagi polisi untuk bisa mencokok Yana. Sebab, nama itu dan alamat yang tercantum pada kartu tanda penduduk saat check-in ternyata palsu. Pengelola hotel pun abai mencatat nomor polisi sepeda motor matik yang ditumpangi lelaki yang kemudian diketahui bernama Didin Wahyudin, 41 tahun, itu.

Selama proses pencarian pelaku, polisi kesulitan mengidentifikasi korban karena tak ada identitas apa pun. Selain itu, sidik jari korban tak terekam dalam database kepolisian. “Titik terang baru kami dapat sekitar September 2015,” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Sumedang Ajun Komisaris Hadi Mulyana kepada detikX.


Waktu itu, ia melanjutkan, ada warga yang melaporkan ciri-ciri pelaku dan sepeda motor matik singgah di sebuah desa di Ciamis. Dari penelusuran di lapangan, diketahui bahwa warga yang dikunjungi tak lain adalah orang tua tersangka pelaku pembunuhan perempuan di Hotel Kencana. “Dari orang tuanya, kami ketahui nama asli Yana adalah Didin Wahyudin. Dia tenaga kontrak di BMKG, Kemayoran, Jakarta,” ujar Hadi.

Di pihak lain, karena merasa keberadaannya sudah tercium polisi, Didin segera pindah kerja. Polisi pun kembali kehilangan jejak. Selang tiga bulan kemudian, baru diperoleh informasi alamat rumah kontrakan Didin di Bekasi. Tepatnya di Jalan Masjid Nomor 67, RT 07 RW 12, Kelurahan Aren Jaya, Kecamatan Bekasi Timur.

Ternyata Esin menghilang karena dibunuh Didin. Saya benar-benar enggak menyangka."

“Kami tak terlalu mengenal dia ataupun istrinya karena enggak pernah melapor,” kata Haji Umar, Ketua RT 07 RW 12 Desa Setia Mekar, Aren Jaya. “Kami cuma denger-denger saja, orang itu ngaku kerja di Jakarta,” dia menambahkan.

Ketika polisi mencokok Didin pada dini hari, 12 Desember 2015, warga sekitar pun gempar. Apalagi begitu tahu kasus yang disangkakan adalah kasus pembunuhan. “Pas ditangkep sih dia kelihatan pasrah, cuma istrinya yang nangis histeris. Tapi besok paginya si Yayah pergi dan enggak pernah balik lagi ke kontrakannya,” ujar Umar.

Bekas rekan-rekan kerja Didin di lingkungan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pun mengaku terkejut oleh kenyataan itu. Sebab, di mata mereka, Didin merupakan rekan kerja yang tak banyak ulah dan rajin. Salah satu indikasinya, dia berpamitan secara baik-baik saat berhenti kerja dari BMKG. “Dia bilangnya sih dapat kerjaan baru, tapi enggak bilang di mana,” ujar Sodikin, rekan Didin semasa di BMKG.

Terkait kedekatan Didin dengan Esin, Sodikin mengaku sekadar tahu bahwa keduanya punya hubungan erat. Tapi ia tak pernah menelisik lebih detail. Toh, baik Didin maupun Esin sudah dewasa dan satu sama lain berstatus bebas dari ikatan perkawinan. Begitupun ketika Esin lama menghilang, dan kemudian Didin menikah dengan Yayah pada Agustus 2014, Sodikin tak ambil pusing.

“Ternyata Esin menghilang karena dibunuh Didin. Saya benar-benar enggak menyangka,” ujarnya.


Reporter: Baban Gandapurnama (Sumedang)
Penulis: M. Rizal
Editor: Sudrajat.

Rubrik Crime Story mengulas kasus-kasus kriminal yang menghebohkan, dikemas dalam bahasa bercerita atau bertutur, dilengkapi dengan gambar ilustrasi yang menarik.

SHARE